NASIONAL, CNI – Di depan forum yang dihadiri sekian banyak petinggi penegak hukum, termasuk para jenderal Polri, hakim dan jaksa, Mahfud memaparkan hasil pengamatan/penelitiannya yang bertahun-tahun tentang “industri hukum”.
Pada era Ode Baru, kata Mahfud, kita kenal istilah “mafia peradilan”, yaitu kolusi antara polisi, jaksa, hakim dan pengacara. Hakim pun cukup sering ditangkap karena menerima suap dari tersangka yang menunggu hukuman dari pengadilan/majelis hakim.” kata Mahfud.
Pada era SBY, istilah “mafia peradilan” diganti menjadi “mafia hukum”, karena praktek mafia itu ternyata tidak hanya terjadi di lingkungan pengadilan, tetapi juga di luar pengadilan. Oleh Mahfud, istilah “mafia hukum” diganti dengan istilah “industry hukum”. Apa sebab?
“Industri hukum” berarti hukum, atau produk hukum sudah menjadi industri, sama seperti industri apa pun: industri semen, perberasan, otomotif, pertambangan, obat dan lain sebagainya; diperjual-belikan di pasar bebas. Kedua belah pihak berusaha keras mencari profit sebesarnya. Yang namanya industri ya identik dengan dagang atau perdagangan.”imbuhnya.
Hukum diperdagangkan? Mahfud menjawab sendiri: Kenyataannya memang begitu. Ia kisahkan satu cerita riil yang disampaikan seorang kawannya. Menurut sang kawan, suatu hari ia kedatangan seorang tamu tidak diundang. “Apa Bapak mau rumah di seberang itu?”
Ia terkejut, dan tidak paham. Maksudnya apa ? Rumah itu kan milik orang lain, mana bisa jatuh ke saya. Bisa, saya bisa “sulap” rumah tersebut menjadi milik Bapak.
Caranya? Surat-surat kepemilikan rumah itu akan saya bikin baru, semua atas nama Bapak. Setelah itu, saya akan mendatangi pemiliknya dan menuding: Bapak telah menyerobot rumah ini. Sebetulnya, rumah ini milik Tuan yang tinggal di seberang.
“Itulah yang kita sebut “industri hukum”, kata Mahfud dengan wajah serius. Sementara para hadirin bungkam, no comment sama sekali.
Dino Patti Djalal, mantan Jurubicara Presiden SBY, beberapa waktu yang lalu, mencak-mencak setelah mengetahui beberapa rumah milik ibunya “raib” dan sudah diserobot oleh orang lain. Padahal rumah-rumah itu tidak pernah dijual, dan sang ibu tidak pernah menandatangani satu pun dokumen rumah-rumah itu. Pindah tangan secara legal; dalam arti “pemilik baru” mengantongi surat-surat kepemilikan yang sah.
Siapa saja pemain/pelaku Industri Hukum? Mahfud jawab: ya bisa polisi, jaksa, hakim, bisa juga pengacara; pihak-pihak ini berkolusi untuk membela seseorang yang sedang berperkara.
Orang yang bersalah bisa “disulap” jadi tidak salah; atau hukumannya diperingan. Orang yang tidak melakukan tindak pidana bisa dijebloskan dalam sel tahanan oleh putusan hakim.
“Bapak bisa kena 10 tahun karena jelas-jelas Bapak telah melakukan kejahatan. Tapi, saya bisa bantu hukuman Bapak diringankan, katakanlah jadi 4 atau 5 tahun.”.
Bagaimana caranya? “Bapak enggak usah tahu atau pusing memikirkannya. Semua saya yang atur!” “Tapi, untuk itu, Bapak harus bayar sekian puluh juta rupiah, bahkan sekian miliar.”
Nah, jika negosiasi tentang “harga transaksi” tercapai, proses selanjutnya tinggal tunggu saja.
Yang hebat lagi, remisi hukuman pun bisa dijadikan produk “industri hukum”. Seorang terpidana yang dihukum 6 tahun penjara misalnya, de facto hanya menjalani hukuman 3,5 tahun, sisanya dalam bentuk remisi-remisi. Macam-macam remisi bisa diatur.
Kasus Djoko Tjandra sekitar dua tahun yang lalu jelas salah satu contoh dari produk industri hukum yang nekad, melibatkan seorang oknum jaksa, pengacara dan oknum polisi berpangkat Jenderal.
Djoko Tjandra yang jelas-jelas harus menjalankan hukuman yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dan sudah berstatus inkrach, bisa –kata pelaku “indsutri hukum” – diatur sedemikian rupa sehingga ia akan bebas murni.
Sial, konspirasi yang bernama “industri hukum” yang satu ini mendapat sorotan tajam dan kecaman habis-habisan dari banyak pihak, bahkan sampai didiskusikan dengan “hot” di satu program televisi yang kondang.
Singkat kata, permainan “industri hukum” yang hendak membebaskan Djoko Tjandra gagal total. Sebagian besar pelakunya pun satu per satu sudah dijebloskan kedalam sel tahanan.
Cerita Mahfud tentu tidak ngibul, tapi riil. Publik sudah tahu, cuma tidak bisa berbuat apa-apa. Maka, Mahfud mendapat banyak pertanyaan kritis: Sudah tahu, kenapa tidak diberantas dan ditutup “industri hukum” itu?
Sang Menko menjawab: dibutuhkan waktu lama sekali untuk membuka praktek-praktek “industri hukum”. Praktek busuk ini sudah ada sejak era Orde Baru. Ketika Jokowi jadi presiden, tentu pemerintahannya belum bisa menggebrak-gebrak; membutuhkan waktu lama untuk meneliti dan mengumpulkan datanya, sementara “industri” sudah makin besar dan makin besar!
Begitu kira-kira jawaban Menko Polhukam. Kini kami siap memerangi “industri hukum”, karena Pemerintah sadar “industri kotor” ini tidak bisa dibiarkan terus.”pungkas Mahfud. (Red).